Foto harimau Jawa hidup, Panthera tigris sondaica, diambil pada 1938 di Ujung Kulon (Andries Hoogerwerf, 29 August 1906 – 5 February 1977/Wikimedia Commons)
Jakarta - Ngomong-ngomong soal patung macan lucu Cisewu yang mendunia itu, maka tak lengkap kiranya untuk membahas macan loreng yang pernah benar-benar hidup di Pulau Jawa. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) teman-teman macan Cisewu itu mengalami perlakuan yang kejam sebelum akhirnya punah.
Ada yang namanya rampogan sima, yakni sebentuk pertunjukkan yang melibatkan masyarakat banyak. Pertunjukkan ini konon sudah ada sejak zaman dulu. Sebagian menyebut tradisi ini sudah ada sejak era Kerajaan Singasari, namun sebagian lagi menyebut pertunjukkan semacam ini baru ada sejak abad ke-17 di Jawa.
Dalam buku 'Bakda Mawi Rampog', R Kartawibawa menceritakan soal rampogan macan ini. Buku ini diterbitkan Balai Pustaka (Bale-Poestaka) pada tahun 1923, dipindai oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Djoko Luknanto, dan diunggah di situs staff UGM.
Menggunakan Bahasa Jawa, Kartawibawa menggunakan istilah 'sima' untuk merujuk kepada kucing besar ini, terkadang juga menggunakan istilah 'macan loreng' untuk merujuk pada harimau, atau menambahkan keterangan untuk macan jenis yang lain. Di masa kecil penulis, hewan pemakan daging yang tersebar di Pulau Jawa ini masih cukup sering dijumpai. Kadang-kadang, harimau Jawa ini memangsa ternak warga hingga akhirnya diburu.
Bahkan penguasa saat itu memberi imbalan bagi siapa saja yang bisa membunuh si loreng. Satu ekor harimau dihargai 10 hingga 50 Gulden. Dalam kondisi seperti itu, acara rampogan macan menjadi hal biasa.
Sebenarnya apa itu rampogan macan? Ini adalah acara yang melibatkan ribuan orang yang memegang tombak, biasa digelar di alun-alun kota. Sejumlah kucing besar dan sedang, yakni harimau Jawa, macan loreng, macan kumbang, dan macan sruni, dilibatkan, atau dikorbankan lebih tepatnya.
Istilah rampog ini, dituturkan Kartawibawa, tidaklah sama dengan istilah 'rampog' yang dituturkan masyarakat Betawi yang bermakna 'rampok' atau perampas dengan kekerasan. 'Ngrampog sima' bermakna beramai-ramai rebutan membunuh harimau dengan tombak. Pertunjukkan ini berlangsung di wilayah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta, dan kawasan Jawa Timur. Biasanya digelar pada suasana hari raya Idul Fitri.
"Di perampogan itu orang-orang memamerkan keunggulan atau keampuhan tombaknya masing-masing," kata dia.
Spoiler for Acara rampogan sima di Kediri, 1890-1925 (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures/Wikimedia Commons):
Ribuan pria yang memegang tombak mengitari alun-alun membentuk barikade. Di tengah, kandang-kandang yang kelewat sempit untuk harimau kemudian dibuka. Harimau itu dipaksa untuk menghadapi tajamnya tombak-tombak masyarakat. Satu harimau versus ribuan pria bersenjatakan tombak. Bagaimana menurut Anda?
Supaya harimau itu keluar dari kandangnya dan berlarian menerjang barikade tombak, maka massa di alun-alun bersorak. Bila harimau masih adem-ayem juga, biasanya mercon besar dinyalakan, atau ada orang yang memancing dengan senjata agar harimau itu mengamuk di alun-alun. Benar saja, mau tak mau harimau harus mengamuk.
"Dalam hati mereka (yang memegang tombak) berkata, 'Ayo, kemarilah, can!' Namun dalam hati, 'Waduh, celaka! Nanti kalau ke sini, bagaimana jadinya?' Saya melihat orang di kiri kanan ada yang melambaikan tangan memanggil si harimau. Tingkahnya seakan-akan hendak mengoyak badan harimau. Setelah harimau mendekat, kebetulan berada di depan barisannya, ujung tombaknya terlihat gemetaran, saya mendengar suara 'trethek-trethek' dan 'eplek-eplek'," tutur penulis mendeskripsikan soal suasana yang memicu adrenalin saat pertunjukan itu terjadi.
Tombak-tombak diarahkan ke depan, bagaikan batang-batang sapu lidi yang merentang. Mata tombak yang tajam setengah mati itu bersiap menyambut bulu indah nan lembut hewan malang itu.
Keruan saja, tubuh si loreng terluka. Kepalanya kena ujung tombak, kemudian dia berlari ke sisi lain barikade. Ternyata sama saja, tombak-tombak sudah diarahkan ke depan bagai pagar yang ambruk terhempas badai.
"Lama-lama harimau itu merasa sakit, bingung mengapa gregetan, kenapa nekat, kemudian menerjang barisan dan pasti ingin keluar dari keramaian. Namun di sana-sini ditusuk oleh tombak, kalau (harimau) merebahkan badan maka malah kena tusuk beramai-ramai, mengakibatkan kematiannya," tuturnya.
Spoiler for Rampogan,
seekor macan terlihat diserang banyak tombak (Tropenmuseum, part of the
National Museum of World Cultures/Wikimedia Commons):
Maka saat harimau ini tak berdaya, orang-orang kemudian seakan pamer keberanian menggunakan tombaknya. Harimau jelas mati terkoyak-koyak dalam kondisi seperti itu. Bangkainya diseret keluar barisan.
Cerita Soal Macan Lucu
"Koela sampoen ningali sima loetjoe (saya pernah melihat harimau lucu)," kata Kartawibawa mengawali kisahnya. Saat hendak dilepaskan dari kandang sempit menuju barikade tombak, harimau ini hanya lenggak-lenggok saja, kemudian dia melangkah sedikit.
Harimau ini tak tertarik untuk memberontak, melainkan malah duduk, menguap, dan berguling-guling di rumput. Ini dia lakukan di depan ribuan pria bertombak.
Penulis melihat harimau ini sudah tak punya kumis, barangkali kumisnya habis terbakar oleh obor yang digunakan untuk menghalau harimau ke kerangkeng sempit.
Maka seperti biasa, orang-orang lalu bersorak, mercon dinyalakan, dan paniklah 'macan lucu' itu. Dia terpaksa menerjang barisan dan mati di ujung ribuan tombak.
Si penulis buku mencoba memberikan telaahnya. Sebenarnya tingkah harimau itu berlari menerjang barisan bukan karena harimau itu beringas atau nekat. Selain karena provokasi, harimau itu hanya ingin lepas dari keramaian yang mengancam.
"Jadi harimau itu berlari memutar-mutar atau menerjang barisan orang-orang, semua itu saya anggap hanya untuk mencari jalan untuk meneruskan hidup, tanpa mau merasa sakit sebelum mati," tuturnya.
Namun saat Kartawibawa menulis buku itu, Lebaran sudah tak seramai dulu lagi. Tak ada lagi rampogan sima sebagaimana dia saksikan saat masih muda dulu.
"Sebab sejak tahun 1905, negara sudah tidak memperbolehkannya," kata dia.
Semakin hari, harimau semakin sulit ditemui di Pulau Jawa. Dia menjelaskan, memang masih ada harimau namun hanya terbatas pada hutan-hutan yang lebat saja, misal di Lodaya (Blitar selatan), Gadungan (Pare, Kediri), Keduwang (Wonogiri), bahkan Cilacap.
"Semakin maju negaranya, semakin habis hutannya, habis pula harimaunya," tulis Kartawibawa dalam buku antik berbahasa Jawa itu.
Spoiler for Sekelompok
pria dan anak-anak berpose dengan harimau yang telah dibunuh di
Malingping, Banteng, Jawa Barat. (Tropenmuseum, part of the National
Museum of World Cultures/ Wikimedia Commons):
Bagaimana dengan kini, tahun 2017? Semakin sulit untuk menyimpulkan apakah harimau Jawa itu masih ada atau sudah benar-benar habis di jagad ini. Bahkan ada pula generasi milenial yang tak tahu bahwa harimau (bukan macan tutul atau macan kumbang) pernah benar-benar hidup di Pulau Jawa dan asli dari Paparan Sunda (Sundaland), berbeda dengan harimau Sumatera. Memang harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) berbeda dengan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
The International Union for Conservation of Nature (IUCN), dalam situs resminya menjelaskan harimau Jawa sudah dinyatakan punah sejak dekade 1970-an. Penyebabnya kepunahan adalah perburuan, kehilangan hutan sebagai habitat, dan kehilangan mangsa. Harimau Jawa juga dipastikan punah lewat rapat Convention on International Trade in Endangered Species di Florida, Amerika Serikat, pada 1996 lampau.
Istilah harimau dengan macan memang sering digunakan bergantian. Sebenarnya ada perbedaan antara harimau dengan macan bila dilihat dari sudut pandang klasifikasi yang kaku. Harimau lebih merujuk ke kucing besar yang punya motif loreng-loreng, dan pada umumnya tidak bisa memanjat pohon meski dalam kasus tertentu mereka bisa memanjat. Macan punya ukuran yang lebih kecil dari harimau, dengan motif totol-totol atau juga bulu berwarna gelap. Harimau disebut masyarakat Sunda sebagai maung, dan masyarakat Jawa biasanya menyebut sebagai macan loreng atau sima.
(dnu/tor)
https://news.detik.com/berita/d-3451964/rampogan-sima-tradisi-membantai-macan-di-tanah-jawa/1
Miris ya...
Padahal Indonesia pernah punya hewan yang melegenda ini ditanah Jawa, namun harus musnah tak tersisa. Punya 1 replikanya di Cisewu yang lucu, akhirnya musnah juga. Tinggal 1 id yang merasa jadi harimau melulu di BP Kaskus meskipun di RLnya mirip kucing kampung. Haruskah dimusnahkan juga?
Indonesia sekarang lekat dengan icon Garuda, hewan setengah legenda setengah mitos. Dan harimau, hewan eksotis ini akhirnya diambil sebagai icon negara tetangga yang merasa selalu jadi harimau Asia, merasa selalu kuat, lebih kuat dari Garuda. Haruskah nantinya negara itu dimusnahkan juga?
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar