WELCOME TO YUKEPO OFFICIAL THREAD
"Jasmerah", begitulah semboyan yang dikumandangkan Presiden Soekarno pada HUT Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1966. Semboyan yang berarti jangan sekali-sekali melupakan sejarah itu memang rasanya begitu mengena di hati bangsa Indonesia. Karena semboyan itu pulalah kita seperti selalu ingat dengan kisah perjuangan bangsa ini.
Dilatarbelakangi semboyan itu pula sepertinya menjadi suatu yang sangat menarik untuk sedikit mengenang peristiwa yang sudah terjadi. Peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang bukan apa-apa, tapi bagi segelintir orang peristiwa tersebut memiliki makna yang luar biasa.
Presiden Soekarno yang mengeluarkan semboyan itu memang sudah banyak menginspirasi bangsa ini. Memang secara keturunan beliau sudah termasuk dalam golongan bangsawan. Sedikit banyak beliau telah merasakan manis dan getirnya hidup sebagai anak bangsawan. Lantas, apakah kehidupannya menjadi lebih beruntung akibat darah bangsawan yang mengalir dari ayah dan ibunya? Melalui tulisan ini kita akan mengetahui secuil kisah masa kecil Soekarno yang bisa membuka jalan pandang pikiran kita yang lain. Yang tentu bagi sebagian orang ini menarik, sebagian lagi mungkin tidak.
Soekarno memang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah kemiskian. Beliau tidak memiliki sepatu barang sepasang pun. Mandi juga bukan dari air yang mengalir dari keran. Makan selalu menggunakan tangan sebagai alat bantu untuk menghantarkan makanan ke mulut, tak ada yang namanya sendok dan garpu. Semua serba dalam kondisi kesusahan. Bahkan gaji ayahnya yang seorang guru hanya sebesar f (gulden Belanda) 25 sebulan. Gaji itu harus dipotong untuk sewa rumah di jalan Pahlawan 88 Surabaya sebesar f 10. Sisanya harus bisa menghidupi 4 orang yaitu ayah, ibu, Soekarno dan Soekarmini kakaknya yang beda 2 tahun.
Pada usia 6 tahun keluarga Putra Sang Fajar harus pindah ke Mojokerto. Bukan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, karena di Mojokerto tidak berbeda dengan Surabaya. Tetangga-tetangganya pun tidak lebih baik keadaannya dengan keluarga Soekarno. Bahkan untuk kalangan anak-anak, Soekarno dan teman-temannya tidak memiliki mainan. Daun yang gugur dan aliran sungailah yang menceriakan masa kecil Soekarno dan teman-temannya.
Suasana lebaran merupakan suasana yang paling ditunggu oleh semua anak muslim terutama di Indonesia. Hari menuju fitrah itu biasanya disemarakkan dengan bunyi dentuman petasan yang bersahutan yang dimiliki oleh semua anak-anak. Ya semua anak-anak di Mojokerto kecuali Soekarno. Jangankan untuk membeli seperangkat baju baru seperti yang biasa kita dapatkan menjelang hari lebaran, untuk membeli sebuah petasan saja keluarga Soekarno tidak mampu.
Dalam keadaan terpuruk seperti itu biasanya Soekarno hanya mengurung diri di kamar sempitnya yang hanya cukup untuk satu tempat tidur. Suara ledakan petasan masih bisa ia dengarkan dari tembok kamarnya yang tipis dan bukan dari beton. Rupanya ia masih sedikit beruntung, ada sebuah lubang seukuran batu bata di atap kamarnya. Dari lubang itulah ia bisa menikmati gemerlapnya langit Mojokerto yang dihiasi petasan.
Perasaan Soekarno pada saat itu sangatlah terpuruk. Kalaupun boleh rasanya ia ingin mati saja karena menjadi seorang anak yang hanya bisa memimpikan mercon dari tahun ke tahunnya. Tapi rupanya Tuhan memiliki rencana lain bagi Soekarno kecil. Pada malam itu datanglah seorang kolega sang ayah yang memberikannya satu bungkusan kecil. Bungkusan itu kemudian diterimanya dengan tangan yang bergetar hebat, nyaris nangis ia dibuatnya. Isi bungkusan itu adalah hanya petasan, bukan istana, emas atau lukisan yang berharga. Kejadian paling menyenangkan bagi Soekarno itu tak kan dilupakannya seumur hidupnya.
Mungkin cerita masa kecil Soekarno di atas seperti agak berlebihan. Tetapi begitulah kenyataannya. Kemiskinan membuat keluarga Soekarno lebih sering makan ubi kayu atau jagung tumbuk. Ibu Soekarno memang tidak mampu untuk membeli beras termurah sekalipun yang diperuntukkan untuk petani. Terkadang ia hanya membeli padi yang kemudian ia tumbuk sendiri sehingga menjadi beras. Harga padi dengan beras memang hanya lebih murah satu sen, tapi satu sen itu bisa digunakan untuk membeli sayuran. Bahkan hanya karena uang satu sen ibu Soekarno rela menumbuk padi setiap pagi hingga tangannya melepuh.
Kepedihan Soekarno tidak berhenti sampai di situ saja. Pada umur 11 tahun Soekarno diserang penyakit thypus selama 2 bulan. Selama itu juga beliau ada di ambang pintu hidup dan mati. Penyakit tersebut datang karena lingkungan rumah yang tidak bersih. Letak rumah yang relatif rendah bahkan dekat dengan kali sering mendatangkan musibah terutama saat musim hujan. Ketika air kali meluap, air itu akan membanjiri seisi rumah Soekarno. Air kali inilah sebagai sumber penyakit thypus Soekarno. Maklum saja, rumah ini disewa dengan harga yang sangat murah.
Secuil kisah masa kecil Soekarno ini dirangkum berdasarkan autobiografi Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Betapa kemiskinan lantas tidak menyurutkan semangat Putra Sang Fajar. Kemiskinanlah justru yang membentuk karakter pemimpin Indonesia yang begitu mesra dengan rakyatnya. Bahkan setelah 47 tahun kepergiannya, sosok Soekarno tetap melekat di hati rakyat Indonesia.
Sumber: YuKepo
Rate, Comment and Cendol are Appreciated
"Jasmerah", begitulah semboyan yang dikumandangkan Presiden Soekarno pada HUT Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1966. Semboyan yang berarti jangan sekali-sekali melupakan sejarah itu memang rasanya begitu mengena di hati bangsa Indonesia. Karena semboyan itu pulalah kita seperti selalu ingat dengan kisah perjuangan bangsa ini.
Dilatarbelakangi semboyan itu pula sepertinya menjadi suatu yang sangat menarik untuk sedikit mengenang peristiwa yang sudah terjadi. Peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang bukan apa-apa, tapi bagi segelintir orang peristiwa tersebut memiliki makna yang luar biasa.
Presiden Soekarno yang mengeluarkan semboyan itu memang sudah banyak menginspirasi bangsa ini. Memang secara keturunan beliau sudah termasuk dalam golongan bangsawan. Sedikit banyak beliau telah merasakan manis dan getirnya hidup sebagai anak bangsawan. Lantas, apakah kehidupannya menjadi lebih beruntung akibat darah bangsawan yang mengalir dari ayah dan ibunya? Melalui tulisan ini kita akan mengetahui secuil kisah masa kecil Soekarno yang bisa membuka jalan pandang pikiran kita yang lain. Yang tentu bagi sebagian orang ini menarik, sebagian lagi mungkin tidak.
Soekarno memang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah kemiskian. Beliau tidak memiliki sepatu barang sepasang pun. Mandi juga bukan dari air yang mengalir dari keran. Makan selalu menggunakan tangan sebagai alat bantu untuk menghantarkan makanan ke mulut, tak ada yang namanya sendok dan garpu. Semua serba dalam kondisi kesusahan. Bahkan gaji ayahnya yang seorang guru hanya sebesar f (gulden Belanda) 25 sebulan. Gaji itu harus dipotong untuk sewa rumah di jalan Pahlawan 88 Surabaya sebesar f 10. Sisanya harus bisa menghidupi 4 orang yaitu ayah, ibu, Soekarno dan Soekarmini kakaknya yang beda 2 tahun.
Pada usia 6 tahun keluarga Putra Sang Fajar harus pindah ke Mojokerto. Bukan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, karena di Mojokerto tidak berbeda dengan Surabaya. Tetangga-tetangganya pun tidak lebih baik keadaannya dengan keluarga Soekarno. Bahkan untuk kalangan anak-anak, Soekarno dan teman-temannya tidak memiliki mainan. Daun yang gugur dan aliran sungailah yang menceriakan masa kecil Soekarno dan teman-temannya.
Suasana lebaran merupakan suasana yang paling ditunggu oleh semua anak muslim terutama di Indonesia. Hari menuju fitrah itu biasanya disemarakkan dengan bunyi dentuman petasan yang bersahutan yang dimiliki oleh semua anak-anak. Ya semua anak-anak di Mojokerto kecuali Soekarno. Jangankan untuk membeli seperangkat baju baru seperti yang biasa kita dapatkan menjelang hari lebaran, untuk membeli sebuah petasan saja keluarga Soekarno tidak mampu.
Dalam keadaan terpuruk seperti itu biasanya Soekarno hanya mengurung diri di kamar sempitnya yang hanya cukup untuk satu tempat tidur. Suara ledakan petasan masih bisa ia dengarkan dari tembok kamarnya yang tipis dan bukan dari beton. Rupanya ia masih sedikit beruntung, ada sebuah lubang seukuran batu bata di atap kamarnya. Dari lubang itulah ia bisa menikmati gemerlapnya langit Mojokerto yang dihiasi petasan.
Perasaan Soekarno pada saat itu sangatlah terpuruk. Kalaupun boleh rasanya ia ingin mati saja karena menjadi seorang anak yang hanya bisa memimpikan mercon dari tahun ke tahunnya. Tapi rupanya Tuhan memiliki rencana lain bagi Soekarno kecil. Pada malam itu datanglah seorang kolega sang ayah yang memberikannya satu bungkusan kecil. Bungkusan itu kemudian diterimanya dengan tangan yang bergetar hebat, nyaris nangis ia dibuatnya. Isi bungkusan itu adalah hanya petasan, bukan istana, emas atau lukisan yang berharga. Kejadian paling menyenangkan bagi Soekarno itu tak kan dilupakannya seumur hidupnya.
Mungkin cerita masa kecil Soekarno di atas seperti agak berlebihan. Tetapi begitulah kenyataannya. Kemiskinan membuat keluarga Soekarno lebih sering makan ubi kayu atau jagung tumbuk. Ibu Soekarno memang tidak mampu untuk membeli beras termurah sekalipun yang diperuntukkan untuk petani. Terkadang ia hanya membeli padi yang kemudian ia tumbuk sendiri sehingga menjadi beras. Harga padi dengan beras memang hanya lebih murah satu sen, tapi satu sen itu bisa digunakan untuk membeli sayuran. Bahkan hanya karena uang satu sen ibu Soekarno rela menumbuk padi setiap pagi hingga tangannya melepuh.
Kepedihan Soekarno tidak berhenti sampai di situ saja. Pada umur 11 tahun Soekarno diserang penyakit thypus selama 2 bulan. Selama itu juga beliau ada di ambang pintu hidup dan mati. Penyakit tersebut datang karena lingkungan rumah yang tidak bersih. Letak rumah yang relatif rendah bahkan dekat dengan kali sering mendatangkan musibah terutama saat musim hujan. Ketika air kali meluap, air itu akan membanjiri seisi rumah Soekarno. Air kali inilah sebagai sumber penyakit thypus Soekarno. Maklum saja, rumah ini disewa dengan harga yang sangat murah.
Secuil kisah masa kecil Soekarno ini dirangkum berdasarkan autobiografi Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Betapa kemiskinan lantas tidak menyurutkan semangat Putra Sang Fajar. Kemiskinanlah justru yang membentuk karakter pemimpin Indonesia yang begitu mesra dengan rakyatnya. Bahkan setelah 47 tahun kepergiannya, sosok Soekarno tetap melekat di hati rakyat Indonesia.
Sumber: YuKepo
Rate, Comment and Cendol are Appreciated
Tidak ada komentar:
Posting Komentar